Minggu, 16 September 2012

Belajar menginap di Hostel

Tampak depan prince of wales
Awal tahun ini saya mendapat pengalaman untuk menginap di hostel pertama kalinya. Alasannya karena hostel menawarkan harga paling murah, plus hostel yang kami pilih berada di lokasi yang sangat strategis. Saya menginap di hostel bernama Prince of wales. Sebuah hostel yang terletak di Boat quay di tepi Sungai Singapura.  Lantai pertama dari Hostel Prince of wales adalah sebuah bar, sedangkan hostel terletak di lantai 2 dan 3. Boat quay memang dikenal dengan kawasan bar (baca Boat quay - Clarke quay). Lantai 2 di khususkan untuk kamar cewek, sedangkan lantai 3 dikhususkan untuk kamar campur cowok dan cewek. Dalam satu ruangan ada sekitar 12 tempat tidur bersusun. Tiap lantai dilengkapi toilet & kamar mandi bersama (tapi masih ada sekatnya kok). Ruangan kami juga dilengkapi locker kecil untuk menyimpan barang berharga, dan satu computer yang tersambung dengan jaringan internet.


Menu sarapan : kopi/teh, roti + buah
Berbeda dengan hotel, di hostel kita melayani diri sendiri. Pihak hostel hanya menyediakan seprei & selimut bersih di tempat khusus. Jadi tiap ingin mengganti seprei, selimut, & handuk kita sendiri yang melakukan plus meletakkan seprei, selimut, & handuk kotor pada tempat cucian saat kita check out. Walau kami juga mendapat sarapan gratis, tetapi kami sendiri yang menyiapkannya. Hostel hanya menyediakan bahan sarapan, dan kita sendiri yang harus membakar roti, menyeduh kopi/teh lalu mencuci sendiri semua peralatan yang kami pakai. 

Apakah aman? Ini singapura jadi segalanya aman, hasil searching di internet semakin memantapkan bahwa cukup aman untuk tinggal di hostel dan sharing dengan orang asing. Buktinya 5 hari 4 malam menginap saya tak pernah kehilangan barang, walau saya tak menggunakan loker. Teman di sebelah tempat tidur saya justru membawa tablet, ipod, BB bergelatakan begitu saja di atas tempat tidurnya. Toh pintu akses menuju kamar kita dilengkapi password dimana hanya yang tinggal di hostel yang bisa masuk ke dalam ditambah hostel juga dilengkapi kamera cctv.

Tidur di hostel artinya harus tinggal bersama dengan 24 orang asing baik cowok maupun cewek. Tempat tidur sebelah saya dihuni oleh seorang cowok asal korea, tempat tidur di depan ada 2-3 cewek asal swedia (ah lupa), sebelah kanan (sepertinya sepasang kekasih) asal perancis, ada juga orang yang saya duga dari India, dan beberapa bule berbahasa inggris tanpa aksen. Tinggal dengan orang dari berbagai negara, dengan berbagai kebudayaan yang sangat asing, plus dengan bahasa Inggris saya yang pas-pasan awalnya membuat saya tak nyaman. Perasaan tak nyaman juga disebabkan karena saya mengalami shock budaya. Beberapa menit merebahkan diri tempat tidur, saya disuguhi “pemandangan”, 2 cewek di depan kamar saya dengan entengnya mengangkat roknya mengambil kunci locker yang dia sembunyikan di celana dalamnya. Cowok disebelah juga dengan santainya mengganti celana tak peduli ada 2 cewek sedang mengobrol di depannya. Ada lagi Cowok Amerika dengan santainya berjalan-jalan dengan hanya memakai celana dalam ke kamar mandi melintas di depan kami, dengan kondisi…. You know lah apa yang terjadi saat cowok bangun tidur. Walau kamar mandi sudah bersekat tinggi, tetapi rasanya cukup aneh saat kita mandi sementara di sebelah kita ada 2 cewek yang juga mandi sambil mengobrol. 

Bar sekaligus tempat kami sarapan
Selepas malam pertama sempat berfikir untuk pindah ke hotel yang lebih punya privacy. Tetapi niat saya tertahan karena teringat satu hal yang diyakini back packer “untuk tidak pernah merasa asing di tempat asing”. Saya juga merasa tertantang melihat mereka yang bisa sangat nyaman dengan orang asing, walau dengan kemampuan berbahasa yang terbatas, tetapi mengapa saya tidak. Cowok korea disebelah saya selalu berusaha berbicara bahasa Inggris dengan sebuah kamus di tangan, dan ada beberapa orang berusaha berbicara bahasa Inggris dengan terbata – bata. Yang memang bahasanya sudah bahasa inggris pun tak menatap kami dengan pandangan aneh saat kami berbicara terbata-bata kepada mereka.Hal ini jadi meningkatkan kepedean saya untuk berkomunikasi (jadi teringat teman yang suka mentertawakan & menceramahi, hanya karena saya salah mengucapkan 1 kata bahasa Inggris).

Saya merasa kami semua memiliki kesamaan yaitu sama-sama jadi orang asing, jadi kesamaan ini membantu saya menyingkirkan fikiran menjadi orang yang terasing. Untuk mengatasi shock budaya, saya hanya menanamkan fikiran mereka semua satu ruangan adalah teman-teman yang perlu saya jaga kehormatannya, tak peduli saya kenal mereka atau sebaliknya. Dan entah mengapa saat saya berhasil menanamkan fikiran itu, perasaan ketidaknyamanan itu berangsur hilang sendiri. 

Selama di hostel saya juga mencoba mengamati perilaku orang-orang dalam hostel ini. Sikap “Individualisme” orang barat (yang kata pelajaran di sekolah buruk) tak selamanya buruk. Individualisme mereka hanya sebatas mereka tidak mau mencampuri sesuatu yang bukan urusannya (seperti menilai orang). Mungkin juga dengan harapan kita tidak mencampuri urusan mereka agar mereka bisa hidup nyaman sesuai dengan pilihannya. Karena inilah saya jadi merasa nyaman sharing bersama mereka.

Kamar kami mirip asrama
Tanpa aturan tertulis di hostel, mereka selalu bisa menjaga kenyamanan semua orang yang tinggal di ruangan itu. Contohnya setiap jam sebelas malam, otomatis lampu dalam ruangan kami mati, semua obrolan mendadak berubah menjadi berbisik dan mereka melakukannya tanpa ada satupun teriakan untuk tidak berisik. Jika sudah mati lampu, cara berjalan mereka pun berubah menjadi mengendap-endap agar tidak menghasilkan getaran yang mengganggu tidur kami. (ternyata mereka lebih berbudaya timur dari saya yang memang dari timur).

Walau tidak ada petugas toilet yang standby dan kamar mandi hanya dibersihkan pada satu waktu, Kamar mandi bersama kami masih jauh dari kesan jorok, jauh dari bau pesing, dan bahkan sebutir sampah pun tidak ada, (kok beda ya dengan di rum….. ah sudahlah). masing - masing penghuni hostel bertanggung jawab atas kebersihan tempat itu. Jika kenyamanan orang bisa dijaga sedemikian rupa maka saya juga merasa sangat percaya untuk urusan keamanan yang lain. Mungkin saya hanya beruntung mendapat hostel bagus, murah, strategis, dan teman-teman yang saling mendukung,

Kamis, 13 September 2012

Transit di 17 Agustus


Antri berpose dengan helikopter milik AU
Kebiasaan sejak tinggal di Lampung adalah selalu transit di Jakarta tiap pergi kemanapun. Saya memilih naik bus malam dari lampung dan tiba pagi hari di Jakarta untuk melanjutkan perjalanan via pesawat/kereta pada malam hari. Saya biasanya menyisakan waktu seharian di Jakarta sebelum melanjutkan perjalanan. Banyak yang bertanya mengapa harus transit selama itu ? Ada 3 alasan: 1. ada beberapa teman yang asyik untuk ditemui, 2. untuk menyalurkan hasrat hedonism setelah lama dikurung di kebun tebu 3. Dengan perjalanan lebih panjang, lebih banyak yang saya lihat, lebih banyak yang saya nikmati, lebih panjang cerita yang saya punya, kali saja ketemu jodoh #eh.

Selama ini urusan saya transit di Jakarta tak terlepas untuk pergi dari mall ke mall khususnya bioskop dan kuliner. Sayangnya, saya tak punya banyak waktu untuk transit pulang mudik tanggal 17 agustus kemarin. Entah mengapa saya khilaf dengan mengklik penerbangan ke Surabaya di sore hari. Alhasil maximal jam 2 siang saya harus segera cabut ke bandara. Tidak cukup banyak waktu untuk ke bioskop, karena  juga terpotong untuk sholat Jumat. Bisa sekedar mampir ke mall, tapi ke mall tanpa kuliner (karena memang sedang berpuasa) akan membuat saya mati gaya. Saya benar-benar tak punya ide menghabiskan waktu, karena teman yang bisa diajak jalan dah mudik duluan. 

Versi live Vs televisi
Mendadak punya ide untuk menyaksikan upacara kemerdekaan di Istana negara secara langsung. Selain mengobati rasa bersalah karena kabur dari upacara bendera di kantor, Ide ini muncul tiba-tiba karena adanya pengalihan arus yang menyebabkan saya terkatung-katung di sekitar Monas. 

Saya baru tahu bahwa sulit menyaksikan proses upacara secara langsung karena tata panggungnya tertutup. Bisa juga memaksa “merangsek” ke depan, tapi kok ya harus berhadapan dengan bapak-bapak yang memegang senjata. Akhirnya saya hanya bisa menyaksikan jalannya upacara dari layar televisi yang disediakan di belakang panggung paduan suara. Saya tidak sendirian mengikuti jalannya upacara di balik panggung paduan suara, banyak turis asing diantara mereka. Sayang, seharusnya upacara tujuh belasan bisa didesain sebagai tontonan yang menarik wisatawan asing.

Ternyata aktivitas penonton dibelakang panggung juga tak kalah asyik. Saya memperhatikan aktivitas crew televisi, lengkap dengan mbak-mbak cantik reporter yang selama ini hanya bisa saya nikmat didepan layar kaca. Berada di belakang panggung sebenarnya juga jadi kesempatan untuk masuk TV, saya melihat beberapa orang yang beruntung diwawancarai oleh crew TV. Saya melihat beberapa diantara mereka yang berusaha menghilangkan kegrogiannya …. Yak kenapa tidak ada yang mewawancarai saya? (mungkin karena waktu itu juga belum mandi hehehe).

Antri berfoto bersama taruna
Saya juga memperhatikan seorang turis asing (sepertinya dari korea) yang sibuk dengan petanya. Mereka sepertinya memastikan bahwa mereka berada pada tempat yang benar. Di sisi lain saya memperhatikan ibu-ibu, remaja putri, dan para pria metroseksual yang berebut foto bersama dengan para taruna peserta upacara. Tidak hanya obyek manusia, beberapa alat militer milik TNI juga jadi sasaran untuk berfoto bersama. Yang paling seru dari rangkaian aktivitas belakang panggung adalah para taruna yang beradu yel-yel.

Adu yel-yel antar pasukan

Tak terasa waktu akan menunjukkan sholat jumat, saya bergegas mencari lokasi masjid terdekat, dan Masjid Istiqlal adalah masjid terdekat dari lokasi "nongkrong" saya saat itu. Saya baru tersadar bahwa hampir 7 tahun bolak balik lewat masjid terbesar se-asia tenggara tapi tak sekalipun berhenti tuk sekedar sholat disana. Memang mudah menemukan Masjid Istiglal, Walau trotoarnya nyaman, bersih & rimbun oleh pepohonan, tetapi saya merasakan jalurnya tak cukup ramah. Satu jalur trotoar dengan trotoar lain tak tersambung dengan sarana penyeberangan jalan yang baik. Di sini saya bertemu 2 wisatawan korea tadi yang ternyata juga berusaha keras menemukan Icon Jakarta ini. Sepertinya mereka setuju dengan pendapat saya. 

Suasana di dalam Istiqlal
Saya mengagumi arsitektur Masjid Istiqlal, yang berdiri berdampingan dengan Gereja terbesar di Indonesia, sebagai perlambang toleransi beragama di Indonesia. Masjid yang terdiri dari 5 lantai ini tak hanya besar diukuran, tetapi juga memiliki jamaah yang sangat-sangat banyak. Saking banyaknya, sudah cukup buat parno bagi saya yang memang sering mengalami kehilangan arah, atau sekedar untuk mengingat dimana arah saya masuk, apalagi dimana saya meletakkan sendal (hehehehe). Saya juga parno untuk batal wudhu, karena membayangkan harus melangkahi ratusan jamaah sebelum sampai ke tempat wudhu yang juga sangat jauh. (di Masjid Istiqlal aja udah parno, gimana nanti di Masjidil Haram ya?).

Yang menarik, saya baru tahu jika sebelum sholat jumat ada pembacaan ayat suci Al-quran yang dilakukan secara live, bukan dengan rekaman seperti masjid-masjid lain di Indonesia. Selepas sholat, saya menjumpai kondisi yang tak berbeda dengan masjid-masjid lain di kota besar.Di halaman masjid saya jumpai banyak orang berjualan dan juga pengemis. Para pengemis ini tak hanya ada di halaman masjid, tetapi juga diselasar dalam masjid berbaur dengan jamaah yang memang menunggu teman/saudaranya Sholat Jum’at. Beruntung saya hari itu bertemu seorang pengemis yang mengomel karena tak mendapat uang sepeser pun. 

Pengemis di selasar masjid diantara ribuan jamaah
Sibuk memperhatikan hiruk pikuk orang membuat saya nyaris tak tersadar jika jam sudah menunjukkan jam 2, hampir terlambat untuk pergi ke bandara. Dan aktivitas transit Jakarta 17 agustus itu ditutup dengan penerbangan ke Surabaya yang delay 2 jam lebih huppff.

Rabu, 08 Agustus 2012

Ramadan di Kota Banjarmasin

Tampak depan Masjid Raya Sabilal Muhtadin
Dari sedikit kota di Indonesia tempat saya pernah melalui Ramadaan, saya memilih Banjarmasin sebagai yang terbaik. Saya menjalani 2x Ramadan di kota ini, yaitu tahun 2004 & 2005. Sebagai kota yang penduduknya lebih dari 90% adalah muslim (CMIIW), Atmosfir Ramadan di sini lebih terasa dibanding kota lain di Indonesia. Minimal tidak seperti di mall di kota Surabaya/ Jakarta/ Bandar Lampung yang dengan mudah kita mendapati orang yang tidak berpuasa (#eh tapi tahun 2004 - 2005  Banjarmasin belum punya mall?). Sebenarnya secara prinsip tak ada yang berbeda Ramadan di Banjarmasin dengan Ramadhan di kota lain di Indonesia. Suasana berbuka puasa, sahur, tarawih, tadarus, petasan hingga ‘ritual’ ngabuburit (lupa istilahnya dalam Bahasa Banjar, kerena burit dalam bahasa banjar = pantat) masih sama dengan kota lain. Lalu apa yang membuatnya istimewa ?  Makanannya! (jiaaah….).

Salah satu sudut hijau masjid
Wilayah Masjid Raya Sabilal muhtadin adalah wilayah favorit saya dalam melakukan ritual ngabuburit, Nama Masjid Sabilal Muhtadin sendiri diambil sebagai penghargaan terhadap ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary (1710-1812) yang selama hidupnya memperdalam dan mengembangkan Islam di Kerajaan Banjar. Masjid terbesar di kota Banjarmasin ini berada di lahan seluas 100.000 Hektar. Areal masjid dikelilingi pepohonan  membentuk  hutan kecil. Masjid ini berada di dekat bantaran Sungai Martapura, sungai terbesar di Kota banjaramsin. Lokasi ini dipilih mengingat jalur transportasi sungai masih banyak diandalkan oleh warga pedalaman. Pada beberapa pengajian akbar saya melihat rombongan jamaah yang datang dengan menggunakan perahu tradisional.  

Masjid raya dari sisi Sungai
Ritual ngabuburit biasanya saya lakukan dengan duduk di bawah pohon, atau di dekat air mancur atau berjalan di bantaran sungai sambil mengamati orang yang sedang mandi di sungai menikmati sunset dengan latar sungai martapura (#eh lupa arah). Kadang saya menghabiskan waktu menelpon (mantan) gebetan, (yang sekarang sudah jadi istri orang). Ritual berakhir dengan merenungi betapa mahalnya pulsa yang saya habiskan..hehehehe (lah kok malah curcol). Untungnya saya tak perlu mengeluarkan uang untuk berbuka puasa.
Masjid raya Sabilal Muhtadin (juga sebagian besar masjid, di sana) selalu menghidangkan takjil dan juga buka puasa gratis. Menu buka puasa yang disediakan biasanya berupa bubur dengan kuah (seperti) soto banjar (Saya menyebutnya sebagai bubur banjar, entah apa namanya). Tak usah malu dianggap mencari gratisan. karena menurut pengamatan berbuka bersama di masjid semacam menjadi budaya setempat. Saya sering melihat rombongan keluarga berbuka puasa bersama di masjid walaupun dengan jelas mereka dari kalangan berada. Bahkan Presiden SBY pun pernah melakukan hal yang sama saat berkunjung di kota ini, menunya bukan bubur lagi, tapi itik banjar yang terkenal itu.

Bingka (sumber : georgetterox.wordpress.com)
Di belakang Masjid Raya Sabilal Muhatdin di bantaran Sungai Martapura biasanya diadakan semacam bazar kuliner. Mereka menyebutnya sebagai pasar wadai (wadai = kue/kudapan). Yang unik sebagian besar kuliner disini tak akan anda jumpai di kota lain di Indonesia. Yang menjadi favorit saya diantara banyak kuliner itu adalah Bingka. Bingka itu adalah semacam pai labu, dengan menggunakan telur itik. (beberapa varian menggunakai tape, ketan, dll). Kue ini tak hanya susah didapat di kota lain di Indonesia, juga bakal susah didapat di Banjarmasin di luar bulan Ramadan. Saya pernah mencoba membuat bingka sendiri. hasilnya gosong diatas, mentah di tengah (hihihi chef gadungan). Makanan favorit saya yang lain adalah aneka ayam & ikan panggangnya yang disajikan dengan bumbu merah yang khas dan tentu saja ketupat & nasi kuning banjar.

Selepas berbuka puasa biasanya saya lanjutkan dengan tarawih 20 rakaat. Bagian favorit saya dalam Sholat Tarawih disini adalah Khotbahnya, terlebih jika itu disampaikan oleh Imam besar masjid saat itu (maaf saya lupa namanya). Saya suka cara Imam besar masjid menyampaikan ceramah agamanya yang ditelinga seakan mendengar beliau mendongeng ke anak cucunya. Walau beberapa bagian saya tidak mengerti (karena sebagian besar disampaikan dalam Bahasa banjar) saya tetap menikmatinya dan ikut tergelak tanpa tahu lucunya dimana 

Satu harapan saya adalah merasakan lagi Ramadan di kota ini bersama keluarga saya nanti….. hmmmmm (anyone?)

Salah satu aktivitas Sungai Martapura


Kamis, 05 Juli 2012

Rumah kayu

Seorang teman mempertanyakan mengapa sebagai pecinta makanan, saya tidak pernah menulis pengalaman kuliner …. ? alasan utama saya tidak “PD” mereview tempat makan, karena lidah saya hanya mampu mengenal 2 jenis rasa : enak & enak banget. Mungkin juga disebabkan oleh itu, banyak yang tidak setuju dengan pendapatku tentang rasa makanan, tetapi bolehlah sesekali saya tulis tempat makan tempat kita “hang out”.

Let me introduce you : Rumah kayu….! Sebuah rumah makan yang terletak di Jl. Arif Rahman hakim no 45 Bandar Lampung. Tempat makan ini selalu berada di daftar nominasi, jika kita akan mengadakan suatu acara spesial. Kebanyakan memang farewell party, atau hanya sekedar makan biasa. Alasan utama selain enak, tempat makan ini sangat nyaman dengan diselimuti pepohonan yang cukup rindang, menciptakan atmosphere hutan kecil. Beberapa teman memilih tempat makan ini, hanya karena ingin “narsis” dengan latar belakang “hijau”.

Konon pemilik rumah makan ini adalah pecinta tanaman. Hobinya bercocok tanam membuat halaman belakang rumahnya berubah seperti sebuah hutan kecil. Dari sini sang pemilik memiliki ide untuk menggabungkannya dengan bisnis kuliner. Simak saja foto-foto kami dari generasi ke generasi direstoran ini.

Don't try this at rumah kayu
Model not includid
Bukan makan besar
Bukti bahwa kita pernah menjadi "ababil"
Untuk makanannya? Menurut saya menu rumah makan ini tergolong standard untuk rumah makan berkonsep sejenis. Menu utama tidak jauh dari ikan, ayam, dan sea food lainnya, dengan rasa masuk kategori enak banget, dengan harga yang masih masuk akal. Sampai saat ini saya belum mendengar keluhan teman-teman saya dari tempat makan ini.


Sekedar saran  untuk yang ingin datang karena alasan “narsis” datanglah di siang hari (tentunya tidak di jam makan siang). Untuk yang datang dengan alasan memlih romantis, datanglah pada sore/malam hari, dan pilih tempat makan di tengah taman. hmmm ada yang mau diajak gak ya ? 

Selasa, 12 Juni 2012

Mencicipi sensasi IMAX

IMAX Gandaria City XXI
Jumat 7 mei 2012, Indonesia memasuki masa penting bagi para pecinta film ……halah lebay….. pada tanggal itu dibuka studio IMAX komersial pertama di Indonesia. Studio IMAX (image maximum) ini dibuka di salah satu studio di gedung bioskop jaringan XXI, tepatnya di Gandaria city Jakarta pusat, dan film pertama yang diputar adalah The avengers. Sebenarnya studio IMAX pertama di Indonesia ada di theater keong mas TMII. Studio IMAX keong mas beroperasi sejak 20 April 1984 ini hanya dikhususkan memutar film ilmu pengetahuan, mayoritas film mengenai keindahan Indonesia. Berbeda dengan IMAX yang ada di Gandaria city XXI, yang akan memutar film-film box office. 

Saya sendiri baru berkesempatan menyaksikan film melalui layar IMAX, awal juni lalu. Saat itu film utama yang diputar adalah Man in Black 3, dan saya lebih memilih menyaksikan  film the Avengers yang waktu itu hanya diputar pada 1x jam tayang. Sebenarnya saya sudah nonton film The avengers, dan sudah saya review di sini, tetapi rasa penasaran membandingkan kualitas IMAX dengan 3D biasa, mendorong saya untuk menyaksikan ulang film ini.

Walau sudah datang 1 jam sebelum jam pertunjukan awal atau 5 jam lebih sebelum pertunjukan The avengers, ternyata antrian sudah terjadi di luar studio. Saya cukup positif thinking akan mendapatkan tiket dan berharap mereka yang mengantri bakal menyaksikan Man in Black 3. Ternyata saya salah, walau film The Avengers sudah berumur hampir 1 bulan di studio itu, antusias mereka menyaksikan The Avengers masih cukup tinggi, Saya mendapatkan tiket deret H masih sedikit tergolong strategis.  
Hanya ada 1 studio berkapasitas + 390 tempat duduk di IMAX Gandaria city XXI, jadi manfaatkan M-TIX untuk jaminan mendapatkan tiket, mengingat antriannya yang belum menunjukkan tanda-tanda surut
Kaca mata 3D
Awal masuk studio, kita dibagikan kaca mata 3D. Kaca mata 3D yang kita dapat lebih besar dari ukuran normal, sehingga sangat nyaman dipakai untuk kami yang berkaca mata. Di dalam studio saya sudah merasakan perbedaan dari layar bioskop yang berukuran sekitar 1,5 – 2X lebih lebar dari layar bioskop biasa dan berbentuk cekung. Deretan tempat duduk yang ada juga lebih curam dari bioskop biasa. Ukuran layar & curamnya deretan pendek duduk memberikan sensasi gambar tanpa batas. Saking besarnya layar, beberapa scene mengharuskan kita sedikit menengok untuk melihat adegan yang terjadi di suatu sudut.

Perbedaan lain adalah sound system yang diletakkan dibagian belakang, dan mereka menggunakan 2 proyektor. Trailer awal IMAX yang diputar sebelum pertunjukan film sudah sangat menjajikan. Dengan kualitas Gambar yang jauh lebih jernih, 3D yang lebih nyata, dan sound yang sangat-sangat menggelegar rasanya kita sudah diberi harapan bahwa IMAX akan memberikan nilai tambah untuk semua film yang dputar. Saya katakan 3D IMAX lebih real, karena dalam pre-scene,serasa semua angka yang muncul dilayar menampar-nampar muka kita.
Saking jernihnya kualitas gambar IMAX, saya harus merevisi penilaian saya tentang siapa cast The avengers pemilik p*nt*t terindah. Maaf untuk  Scarlet Johansen & Chris evans, Gwyneth paltrow pemenangnya (tolong diabaikan)
Saat trailer Spiderman diputar, Saya benar-benar merasakan sensasi berayun dari gedung-gedung bertingkat,  tetapi sensasi ini justru berkurang di film utama. Selain gambar lebih jernih, & suara yang menggelegar saya seperti tidak melihat perbedaan kualitas Avengers dalam format 3D biasa dengan IMAX.Kualitas sound yang menggelegar di beberapa scene malah cenderung berisik. Saya juga tidak merasakan ada “emosi” yang saya lewatkan saat saya menonton The Avengers versi 3D biasa.  sehingga saya tidak perlu merubah nilai saya pada film ini. Berbeda dengan saat saya melihat Avatar, dimana saya merasakan emosi lebih saat saya menyaksikan ulang dalam versi 3D. 

Saya baru melihat perbedaan gambar kualitas 3D IMAX dengan 3D biasa saat adegan hawk eye membidik seorang manusia kecil, yang seingat saya  tidak ada di film versi 3D biasa. Ternyata seorang kecil yang saya lihat itu adalah penonton didepan yang sedang berdiri..hehehehe. kejadian berulang saat adegan di pinggir laut/sungai, saya merasa ada segerombolan orang berada dipinggiran sungai/laut itu…yang ternyata adalah penonton yang berada di barisan depan. 

Akhirnya,saya setuju  IMAX menghadirkan film dengan kualitas yang lebih baik, tetapi tidak semua film bisa memberikan sensasi lebih. Jadi saya hanya akan kembali menyaksikan film di studio IMAX khusus untuk film yang memang sudah ada dalam bentuk IMAX, bukan yang ditransfer seperti film The Avengers ini. Walau hasilnya di bawah ekspetasi saya, tetapi menyaksikan film di studio IMAX sudah cukup mengupgrade status “kegaulan”. Maksud hati ingin pamer ke teman-teman kerja di tengah kebon tebu Lampung dengan memposting foto bioskop IMAX  di Facebook, tetapi sebagian besar malah bertanya apa itu IMAX ….. dan saya pun gagal sombong.

Mengenai apa itu IMAX dapat di baca di sini

Rabu, 30 Mei 2012

Liburan Impian

Ini adalah tulisan saya yang ke-100 dari 3 blog saya, dan saya dedikasikan untuk menulis liburan impian saya :

1. Liburan sebagai diver
5 tahun lalu tak terbesit sedikitpun untuk menjadi seorang diver, karena memang 5 tahun lalu masih takut air. Sejak “mendadak” bisa berenang, saya jadi suka pergi ke pantai, lalu mencoba snorkeling dan akhirnya sekarang sedang berupaya keras menabung untuk biaya mendapatkan license diving. Pertama kali mencoba diving setahun yang lalu di aquarium utama Sea world ancol, dan mendapatkan pengalaman yang menakjubkan, pengalaman pertama ini membuat ketagihan untuk melanjutkan petualangan diving di laut beneran apalagi Indonesia punya ratusan taman laut yang wajib dikunjungi.

Memang sebagian pemilik paket wisata memperbolehkan orang yang tidak memiliki license diving untuk menyelam, tetapi berhubung resiko olahraga ini besar, maka saya gunakan jalur aman dengan belajar lebih benar. Masalahnya license diving ini mahal banget untuk ukuran kantongku plus terbatasnya waktu yang saya punya, tetapi dengan niat dan plan yang matang Insya Allah 3 bulan lagi saya resmi menjadi seorang diver dan bersiap mengekplore dunia bawah laut.

Kemana? Indonesia timur punya spot terbaik, yang paling hot saat ini jelas raja ampat. Harganya pun juga paling hot. Hasil pencarianku mengenai spot terbaik disana mendapatkan bahwa paket liburan ke Raja ampat banyak yang berangkat dari Bali, sebuah ide brillian menggaet wisatawan.

Spot diving Indonesia bukan hanya di Raja ampat, masih ada Bunaken, yang memang sudah dikenal lebih dulu, lalu ada surga penyu Derawan, juga ada pusat penelitian terumbu karang di Togean, juga ada spot hiu & manta di Alor. Wow kayaknya bakal menguras kantong…. Kapan kawinnya?

2. LOB – living on boat
Living on boat
Sebuah paket wisata dengan menggunakan (semacam) kapal pesiar. Saya gunakan semacam karena biasanya menggunakan kapal layar tradisional, bukan kapal sekelas Titanic. Tingkat kenyamananya bergantung pada harga yang dikeluarkan. Perjalanan dengan menggunakan kapal ini akan mengajak kita mengeksplore pulau-pulau kecil, dan juga tentunya spot-spot diving terbaik. Perjalanan ini akan membuat orang yang tak suka olahraga air “mati gaya” karena dalam beberapa hari perjalanan yang dilihat cuma laut.

Harga paket perjalanan ini masih terjangkau kantung, itu jika yang jalurnya masih sekitaran Jakarta, Saya mendapat harga sekitar 2 jutaan, untuk jalur Kepulauan seribu – Ujung kulon – Krakatau. Jalur favorit ? masih Indonesia timur, saya mendapat penawaran harga mulai dari Rp. 19 jutaaan hingga Rp. 70 jutaan ! *pingsan.

Sebenarnya awal tahun ini, sudah mencoba LOB versi paket hemat. Selama 2 hari dengan menyewa kapal nelayan kami mencoba mengekplore pulau-pulau, spot snorkeling & pantai sekitaran Teluk Lampung (baca juga di : Teluk lampung). Sayangnya cuaca kurang bersahabat, membuat kami hanya bisa meraih separo dari tujuan dan sukses membuatku nyaris mabuk  

3. Mount Tracking
Saya tergolong sangat telat untuk menjadi petualangan. Zaman saya masih muda dulu,  belum bisa dikatakan “cowok” kalau belum naik gunung. Lalu saya menyadari bahwa Indonesia punya ratusan spot alam/gunung yang eksotis, yang sayang dilewatkan. Dari ratusan tujuan wisata alam itu, tujuan favorit saya adalah Rinjani, dalam 3 hari tracking kita bisa menjumpai air terjun, danau, mata air panas, dan juga berbagai kehidupan desa dengan budaya yang masih asli, Yaa lagi-lagi saya harus menabung untung ini. wanna join? … bayarin ya

4. Caving
Ray of light;
sumber https://ick0blogs.wordpress.com
Adalah paket wisata penelusuran gua. Tidak melulu berjalan dalam kegelapan, liburan caving yang saya harapkan adalah penelusuran gua yang memiliki jalur vertical, punya sungai, hingga air terjun di bawah tanah. Agak ragu juga, apa bisa badan segede gaban seperti saya melakukan wall climbing. hihihihi

Dimana ? melalui Amazing race saya mendapat informasi ada Gua Jomblang yang memiliki sungai bawah tanah, hutan purba & tempat yang dijuluki ray of light. Apa itu ray of light? klik :  blog ini

selain Goa jomblang saya masih punya banyak referensi gua yang menarik untuk dikunjungi. Beberapa gua itu malah bisa dijadikan tempat diving, hingga arung jeram.

5. Liburan untuk mengejar ombak.
Entah kenapa hampir tak terbersit sedikitpun keinginan saya menjadi seorang “surfer”. Hingga bulan lalu saya bertemu seorang asal Perancis yang berupaya berbicara Bahasa Indonesia untuk menggambarkan asyiknya menjadi seorang surfer. Tak hanya asyik, dia meyakinkanku bahwa cukup mudah untuk belajar surfing. Lalu dia memberikan sebuah promo yang sangat murah untuk belajar surfing. Menurutnya Lampung punya salah satu spot surfing terbaik di dunia, sangat aneh saya tidak pernah mencobanya.

Ini liburan impian saya apa liburan impian kalian?