Rabu, 08 Agustus 2012

Ramadan di Kota Banjarmasin

Tampak depan Masjid Raya Sabilal Muhtadin
Dari sedikit kota di Indonesia tempat saya pernah melalui Ramadaan, saya memilih Banjarmasin sebagai yang terbaik. Saya menjalani 2x Ramadan di kota ini, yaitu tahun 2004 & 2005. Sebagai kota yang penduduknya lebih dari 90% adalah muslim (CMIIW), Atmosfir Ramadan di sini lebih terasa dibanding kota lain di Indonesia. Minimal tidak seperti di mall di kota Surabaya/ Jakarta/ Bandar Lampung yang dengan mudah kita mendapati orang yang tidak berpuasa (#eh tapi tahun 2004 - 2005  Banjarmasin belum punya mall?). Sebenarnya secara prinsip tak ada yang berbeda Ramadan di Banjarmasin dengan Ramadhan di kota lain di Indonesia. Suasana berbuka puasa, sahur, tarawih, tadarus, petasan hingga ‘ritual’ ngabuburit (lupa istilahnya dalam Bahasa Banjar, kerena burit dalam bahasa banjar = pantat) masih sama dengan kota lain. Lalu apa yang membuatnya istimewa ?  Makanannya! (jiaaah….).

Salah satu sudut hijau masjid
Wilayah Masjid Raya Sabilal muhtadin adalah wilayah favorit saya dalam melakukan ritual ngabuburit, Nama Masjid Sabilal Muhtadin sendiri diambil sebagai penghargaan terhadap ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary (1710-1812) yang selama hidupnya memperdalam dan mengembangkan Islam di Kerajaan Banjar. Masjid terbesar di kota Banjarmasin ini berada di lahan seluas 100.000 Hektar. Areal masjid dikelilingi pepohonan  membentuk  hutan kecil. Masjid ini berada di dekat bantaran Sungai Martapura, sungai terbesar di Kota banjaramsin. Lokasi ini dipilih mengingat jalur transportasi sungai masih banyak diandalkan oleh warga pedalaman. Pada beberapa pengajian akbar saya melihat rombongan jamaah yang datang dengan menggunakan perahu tradisional.  

Masjid raya dari sisi Sungai
Ritual ngabuburit biasanya saya lakukan dengan duduk di bawah pohon, atau di dekat air mancur atau berjalan di bantaran sungai sambil mengamati orang yang sedang mandi di sungai menikmati sunset dengan latar sungai martapura (#eh lupa arah). Kadang saya menghabiskan waktu menelpon (mantan) gebetan, (yang sekarang sudah jadi istri orang). Ritual berakhir dengan merenungi betapa mahalnya pulsa yang saya habiskan..hehehehe (lah kok malah curcol). Untungnya saya tak perlu mengeluarkan uang untuk berbuka puasa.
Masjid raya Sabilal Muhtadin (juga sebagian besar masjid, di sana) selalu menghidangkan takjil dan juga buka puasa gratis. Menu buka puasa yang disediakan biasanya berupa bubur dengan kuah (seperti) soto banjar (Saya menyebutnya sebagai bubur banjar, entah apa namanya). Tak usah malu dianggap mencari gratisan. karena menurut pengamatan berbuka bersama di masjid semacam menjadi budaya setempat. Saya sering melihat rombongan keluarga berbuka puasa bersama di masjid walaupun dengan jelas mereka dari kalangan berada. Bahkan Presiden SBY pun pernah melakukan hal yang sama saat berkunjung di kota ini, menunya bukan bubur lagi, tapi itik banjar yang terkenal itu.

Bingka (sumber : georgetterox.wordpress.com)
Di belakang Masjid Raya Sabilal Muhatdin di bantaran Sungai Martapura biasanya diadakan semacam bazar kuliner. Mereka menyebutnya sebagai pasar wadai (wadai = kue/kudapan). Yang unik sebagian besar kuliner disini tak akan anda jumpai di kota lain di Indonesia. Yang menjadi favorit saya diantara banyak kuliner itu adalah Bingka. Bingka itu adalah semacam pai labu, dengan menggunakan telur itik. (beberapa varian menggunakai tape, ketan, dll). Kue ini tak hanya susah didapat di kota lain di Indonesia, juga bakal susah didapat di Banjarmasin di luar bulan Ramadan. Saya pernah mencoba membuat bingka sendiri. hasilnya gosong diatas, mentah di tengah (hihihi chef gadungan). Makanan favorit saya yang lain adalah aneka ayam & ikan panggangnya yang disajikan dengan bumbu merah yang khas dan tentu saja ketupat & nasi kuning banjar.

Selepas berbuka puasa biasanya saya lanjutkan dengan tarawih 20 rakaat. Bagian favorit saya dalam Sholat Tarawih disini adalah Khotbahnya, terlebih jika itu disampaikan oleh Imam besar masjid saat itu (maaf saya lupa namanya). Saya suka cara Imam besar masjid menyampaikan ceramah agamanya yang ditelinga seakan mendengar beliau mendongeng ke anak cucunya. Walau beberapa bagian saya tidak mengerti (karena sebagian besar disampaikan dalam Bahasa banjar) saya tetap menikmatinya dan ikut tergelak tanpa tahu lucunya dimana 

Satu harapan saya adalah merasakan lagi Ramadan di kota ini bersama keluarga saya nanti….. hmmmmm (anyone?)

Salah satu aktivitas Sungai Martapura


Tidak ada komentar:

Posting Komentar