Kamis, 13 September 2012

Transit di 17 Agustus


Antri berpose dengan helikopter milik AU
Kebiasaan sejak tinggal di Lampung adalah selalu transit di Jakarta tiap pergi kemanapun. Saya memilih naik bus malam dari lampung dan tiba pagi hari di Jakarta untuk melanjutkan perjalanan via pesawat/kereta pada malam hari. Saya biasanya menyisakan waktu seharian di Jakarta sebelum melanjutkan perjalanan. Banyak yang bertanya mengapa harus transit selama itu ? Ada 3 alasan: 1. ada beberapa teman yang asyik untuk ditemui, 2. untuk menyalurkan hasrat hedonism setelah lama dikurung di kebun tebu 3. Dengan perjalanan lebih panjang, lebih banyak yang saya lihat, lebih banyak yang saya nikmati, lebih panjang cerita yang saya punya, kali saja ketemu jodoh #eh.

Selama ini urusan saya transit di Jakarta tak terlepas untuk pergi dari mall ke mall khususnya bioskop dan kuliner. Sayangnya, saya tak punya banyak waktu untuk transit pulang mudik tanggal 17 agustus kemarin. Entah mengapa saya khilaf dengan mengklik penerbangan ke Surabaya di sore hari. Alhasil maximal jam 2 siang saya harus segera cabut ke bandara. Tidak cukup banyak waktu untuk ke bioskop, karena  juga terpotong untuk sholat Jumat. Bisa sekedar mampir ke mall, tapi ke mall tanpa kuliner (karena memang sedang berpuasa) akan membuat saya mati gaya. Saya benar-benar tak punya ide menghabiskan waktu, karena teman yang bisa diajak jalan dah mudik duluan. 

Versi live Vs televisi
Mendadak punya ide untuk menyaksikan upacara kemerdekaan di Istana negara secara langsung. Selain mengobati rasa bersalah karena kabur dari upacara bendera di kantor, Ide ini muncul tiba-tiba karena adanya pengalihan arus yang menyebabkan saya terkatung-katung di sekitar Monas. 

Saya baru tahu bahwa sulit menyaksikan proses upacara secara langsung karena tata panggungnya tertutup. Bisa juga memaksa “merangsek” ke depan, tapi kok ya harus berhadapan dengan bapak-bapak yang memegang senjata. Akhirnya saya hanya bisa menyaksikan jalannya upacara dari layar televisi yang disediakan di belakang panggung paduan suara. Saya tidak sendirian mengikuti jalannya upacara di balik panggung paduan suara, banyak turis asing diantara mereka. Sayang, seharusnya upacara tujuh belasan bisa didesain sebagai tontonan yang menarik wisatawan asing.

Ternyata aktivitas penonton dibelakang panggung juga tak kalah asyik. Saya memperhatikan aktivitas crew televisi, lengkap dengan mbak-mbak cantik reporter yang selama ini hanya bisa saya nikmat didepan layar kaca. Berada di belakang panggung sebenarnya juga jadi kesempatan untuk masuk TV, saya melihat beberapa orang yang beruntung diwawancarai oleh crew TV. Saya melihat beberapa diantara mereka yang berusaha menghilangkan kegrogiannya …. Yak kenapa tidak ada yang mewawancarai saya? (mungkin karena waktu itu juga belum mandi hehehe).

Antri berfoto bersama taruna
Saya juga memperhatikan seorang turis asing (sepertinya dari korea) yang sibuk dengan petanya. Mereka sepertinya memastikan bahwa mereka berada pada tempat yang benar. Di sisi lain saya memperhatikan ibu-ibu, remaja putri, dan para pria metroseksual yang berebut foto bersama dengan para taruna peserta upacara. Tidak hanya obyek manusia, beberapa alat militer milik TNI juga jadi sasaran untuk berfoto bersama. Yang paling seru dari rangkaian aktivitas belakang panggung adalah para taruna yang beradu yel-yel.

Adu yel-yel antar pasukan

Tak terasa waktu akan menunjukkan sholat jumat, saya bergegas mencari lokasi masjid terdekat, dan Masjid Istiqlal adalah masjid terdekat dari lokasi "nongkrong" saya saat itu. Saya baru tersadar bahwa hampir 7 tahun bolak balik lewat masjid terbesar se-asia tenggara tapi tak sekalipun berhenti tuk sekedar sholat disana. Memang mudah menemukan Masjid Istiglal, Walau trotoarnya nyaman, bersih & rimbun oleh pepohonan, tetapi saya merasakan jalurnya tak cukup ramah. Satu jalur trotoar dengan trotoar lain tak tersambung dengan sarana penyeberangan jalan yang baik. Di sini saya bertemu 2 wisatawan korea tadi yang ternyata juga berusaha keras menemukan Icon Jakarta ini. Sepertinya mereka setuju dengan pendapat saya. 

Suasana di dalam Istiqlal
Saya mengagumi arsitektur Masjid Istiqlal, yang berdiri berdampingan dengan Gereja terbesar di Indonesia, sebagai perlambang toleransi beragama di Indonesia. Masjid yang terdiri dari 5 lantai ini tak hanya besar diukuran, tetapi juga memiliki jamaah yang sangat-sangat banyak. Saking banyaknya, sudah cukup buat parno bagi saya yang memang sering mengalami kehilangan arah, atau sekedar untuk mengingat dimana arah saya masuk, apalagi dimana saya meletakkan sendal (hehehehe). Saya juga parno untuk batal wudhu, karena membayangkan harus melangkahi ratusan jamaah sebelum sampai ke tempat wudhu yang juga sangat jauh. (di Masjid Istiqlal aja udah parno, gimana nanti di Masjidil Haram ya?).

Yang menarik, saya baru tahu jika sebelum sholat jumat ada pembacaan ayat suci Al-quran yang dilakukan secara live, bukan dengan rekaman seperti masjid-masjid lain di Indonesia. Selepas sholat, saya menjumpai kondisi yang tak berbeda dengan masjid-masjid lain di kota besar.Di halaman masjid saya jumpai banyak orang berjualan dan juga pengemis. Para pengemis ini tak hanya ada di halaman masjid, tetapi juga diselasar dalam masjid berbaur dengan jamaah yang memang menunggu teman/saudaranya Sholat Jum’at. Beruntung saya hari itu bertemu seorang pengemis yang mengomel karena tak mendapat uang sepeser pun. 

Pengemis di selasar masjid diantara ribuan jamaah
Sibuk memperhatikan hiruk pikuk orang membuat saya nyaris tak tersadar jika jam sudah menunjukkan jam 2, hampir terlambat untuk pergi ke bandara. Dan aktivitas transit Jakarta 17 agustus itu ditutup dengan penerbangan ke Surabaya yang delay 2 jam lebih huppff.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar