Antri berpose dengan helikopter milik AU |
Kebiasaan sejak tinggal di
Lampung adalah selalu transit di Jakarta tiap pergi kemanapun. Saya memilih
naik bus malam dari lampung dan tiba pagi hari di Jakarta untuk melanjutkan
perjalanan via pesawat/kereta pada malam hari. Saya biasanya menyisakan waktu
seharian di Jakarta sebelum melanjutkan perjalanan. Banyak yang bertanya mengapa
harus transit selama itu ? Ada 3 alasan: 1. ada beberapa teman yang asyik untuk
ditemui, 2. untuk menyalurkan hasrat hedonism setelah lama dikurung di kebun
tebu 3. Dengan perjalanan lebih panjang, lebih banyak yang saya lihat, lebih
banyak yang saya nikmati, lebih panjang cerita yang saya punya, kali saja
ketemu jodoh #eh.
Selama ini urusan saya transit di
Jakarta tak terlepas untuk pergi dari mall ke mall khususnya bioskop dan kuliner.
Sayangnya, saya tak punya banyak waktu untuk transit pulang mudik tanggal 17
agustus kemarin. Entah mengapa saya khilaf dengan mengklik penerbangan ke
Surabaya di sore hari. Alhasil maximal jam 2 siang saya harus segera cabut ke
bandara. Tidak cukup banyak waktu untuk ke bioskop, karena juga terpotong untuk sholat Jumat. Bisa sekedar
mampir ke mall, tapi ke mall tanpa kuliner (karena memang sedang berpuasa) akan
membuat saya mati gaya. Saya benar-benar tak punya ide menghabiskan waktu,
karena teman yang bisa diajak jalan dah mudik duluan.
Versi live Vs televisi |
Mendadak punya ide untuk
menyaksikan upacara kemerdekaan di Istana negara secara langsung. Selain
mengobati rasa bersalah karena kabur dari upacara bendera di kantor, Ide ini
muncul tiba-tiba karena adanya pengalihan arus yang menyebabkan saya
terkatung-katung di sekitar Monas.
Saya baru tahu bahwa sulit
menyaksikan proses upacara secara langsung karena tata panggungnya tertutup.
Bisa juga memaksa “merangsek” ke depan, tapi kok ya harus berhadapan dengan
bapak-bapak yang memegang senjata. Akhirnya saya hanya bisa menyaksikan
jalannya upacara dari layar televisi yang disediakan di belakang panggung
paduan suara. Saya tidak sendirian mengikuti jalannya upacara di balik panggung
paduan suara, banyak turis asing diantara mereka. Sayang, seharusnya upacara
tujuh belasan bisa didesain sebagai tontonan yang menarik wisatawan asing.
Ternyata aktivitas penonton
dibelakang panggung juga tak kalah asyik. Saya memperhatikan aktivitas crew
televisi, lengkap dengan mbak-mbak cantik reporter yang selama ini hanya bisa
saya nikmat didepan layar kaca. Berada di belakang panggung sebenarnya juga
jadi kesempatan untuk masuk TV, saya melihat beberapa orang yang beruntung
diwawancarai oleh crew TV. Saya melihat beberapa diantara mereka yang berusaha
menghilangkan kegrogiannya …. Yak kenapa tidak ada yang mewawancarai saya? (mungkin
karena waktu itu juga belum mandi hehehe).
Antri berfoto bersama taruna |
Saya juga memperhatikan seorang
turis asing (sepertinya dari korea) yang sibuk dengan petanya. Mereka
sepertinya memastikan bahwa mereka berada pada tempat yang benar. Di sisi lain
saya memperhatikan ibu-ibu, remaja putri, dan para pria metroseksual yang berebut foto bersama dengan para taruna peserta
upacara. Tidak hanya obyek manusia, beberapa alat militer milik TNI juga jadi
sasaran untuk berfoto bersama. Yang paling seru dari rangkaian aktivitas
belakang panggung adalah para taruna yang beradu yel-yel.
Adu yel-yel antar pasukan |
Tak terasa waktu akan menunjukkan
sholat jumat, saya bergegas mencari lokasi masjid terdekat, dan Masjid Istiqlal
adalah masjid terdekat dari lokasi "nongkrong" saya saat itu. Saya baru tersadar
bahwa hampir 7 tahun bolak balik lewat masjid terbesar se-asia tenggara tapi
tak sekalipun berhenti tuk sekedar sholat disana. Memang mudah menemukan Masjid
Istiglal, Walau trotoarnya nyaman, bersih & rimbun oleh pepohonan, tetapi saya
merasakan jalurnya tak cukup ramah. Satu jalur trotoar dengan trotoar lain tak tersambung
dengan sarana penyeberangan jalan yang baik. Di sini saya bertemu 2 wisatawan
korea tadi yang ternyata juga berusaha keras menemukan Icon Jakarta ini. Sepertinya
mereka setuju dengan pendapat saya.
Suasana di dalam Istiqlal |
Saya mengagumi arsitektur Masjid Istiqlal,
yang berdiri berdampingan dengan Gereja terbesar di Indonesia, sebagai
perlambang toleransi beragama di Indonesia. Masjid yang terdiri dari 5 lantai ini
tak hanya besar diukuran, tetapi juga memiliki jamaah yang sangat-sangat
banyak. Saking banyaknya, sudah cukup buat parno bagi saya yang memang sering mengalami
kehilangan arah, atau sekedar untuk mengingat dimana arah saya masuk, apalagi dimana
saya meletakkan sendal (hehehehe). Saya juga parno untuk batal wudhu, karena membayangkan
harus melangkahi ratusan jamaah sebelum sampai ke tempat wudhu yang juga sangat
jauh. (di Masjid Istiqlal aja udah parno, gimana nanti di Masjidil Haram ya?).
Yang menarik, saya baru tahu jika
sebelum sholat jumat ada pembacaan ayat suci Al-quran yang dilakukan secara
live, bukan dengan rekaman seperti masjid-masjid lain di Indonesia. Selepas sholat,
saya menjumpai kondisi yang tak berbeda dengan masjid-masjid lain di kota
besar.Di halaman masjid saya jumpai banyak orang berjualan dan juga pengemis.
Para pengemis ini tak hanya ada di halaman masjid, tetapi juga diselasar dalam
masjid berbaur dengan jamaah yang memang menunggu teman/saudaranya Sholat Jum’at.
Beruntung saya hari itu bertemu seorang pengemis yang mengomel karena tak
mendapat uang sepeser pun.
Pengemis di selasar masjid diantara ribuan jamaah |
Sibuk memperhatikan hiruk pikuk
orang membuat saya nyaris tak tersadar jika jam sudah menunjukkan jam 2, hampir
terlambat untuk pergi ke bandara. Dan aktivitas transit Jakarta 17 agustus itu ditutup
dengan penerbangan ke Surabaya yang delay 2 jam lebih huppff.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar