Minggu, 16 September 2012

Belajar menginap di Hostel

Tampak depan prince of wales
Awal tahun ini saya mendapat pengalaman untuk menginap di hostel pertama kalinya. Alasannya karena hostel menawarkan harga paling murah, plus hostel yang kami pilih berada di lokasi yang sangat strategis. Saya menginap di hostel bernama Prince of wales. Sebuah hostel yang terletak di Boat quay di tepi Sungai Singapura.  Lantai pertama dari Hostel Prince of wales adalah sebuah bar, sedangkan hostel terletak di lantai 2 dan 3. Boat quay memang dikenal dengan kawasan bar (baca Boat quay - Clarke quay). Lantai 2 di khususkan untuk kamar cewek, sedangkan lantai 3 dikhususkan untuk kamar campur cowok dan cewek. Dalam satu ruangan ada sekitar 12 tempat tidur bersusun. Tiap lantai dilengkapi toilet & kamar mandi bersama (tapi masih ada sekatnya kok). Ruangan kami juga dilengkapi locker kecil untuk menyimpan barang berharga, dan satu computer yang tersambung dengan jaringan internet.


Menu sarapan : kopi/teh, roti + buah
Berbeda dengan hotel, di hostel kita melayani diri sendiri. Pihak hostel hanya menyediakan seprei & selimut bersih di tempat khusus. Jadi tiap ingin mengganti seprei, selimut, & handuk kita sendiri yang melakukan plus meletakkan seprei, selimut, & handuk kotor pada tempat cucian saat kita check out. Walau kami juga mendapat sarapan gratis, tetapi kami sendiri yang menyiapkannya. Hostel hanya menyediakan bahan sarapan, dan kita sendiri yang harus membakar roti, menyeduh kopi/teh lalu mencuci sendiri semua peralatan yang kami pakai. 

Apakah aman? Ini singapura jadi segalanya aman, hasil searching di internet semakin memantapkan bahwa cukup aman untuk tinggal di hostel dan sharing dengan orang asing. Buktinya 5 hari 4 malam menginap saya tak pernah kehilangan barang, walau saya tak menggunakan loker. Teman di sebelah tempat tidur saya justru membawa tablet, ipod, BB bergelatakan begitu saja di atas tempat tidurnya. Toh pintu akses menuju kamar kita dilengkapi password dimana hanya yang tinggal di hostel yang bisa masuk ke dalam ditambah hostel juga dilengkapi kamera cctv.

Tidur di hostel artinya harus tinggal bersama dengan 24 orang asing baik cowok maupun cewek. Tempat tidur sebelah saya dihuni oleh seorang cowok asal korea, tempat tidur di depan ada 2-3 cewek asal swedia (ah lupa), sebelah kanan (sepertinya sepasang kekasih) asal perancis, ada juga orang yang saya duga dari India, dan beberapa bule berbahasa inggris tanpa aksen. Tinggal dengan orang dari berbagai negara, dengan berbagai kebudayaan yang sangat asing, plus dengan bahasa Inggris saya yang pas-pasan awalnya membuat saya tak nyaman. Perasaan tak nyaman juga disebabkan karena saya mengalami shock budaya. Beberapa menit merebahkan diri tempat tidur, saya disuguhi “pemandangan”, 2 cewek di depan kamar saya dengan entengnya mengangkat roknya mengambil kunci locker yang dia sembunyikan di celana dalamnya. Cowok disebelah juga dengan santainya mengganti celana tak peduli ada 2 cewek sedang mengobrol di depannya. Ada lagi Cowok Amerika dengan santainya berjalan-jalan dengan hanya memakai celana dalam ke kamar mandi melintas di depan kami, dengan kondisi…. You know lah apa yang terjadi saat cowok bangun tidur. Walau kamar mandi sudah bersekat tinggi, tetapi rasanya cukup aneh saat kita mandi sementara di sebelah kita ada 2 cewek yang juga mandi sambil mengobrol. 

Bar sekaligus tempat kami sarapan
Selepas malam pertama sempat berfikir untuk pindah ke hotel yang lebih punya privacy. Tetapi niat saya tertahan karena teringat satu hal yang diyakini back packer “untuk tidak pernah merasa asing di tempat asing”. Saya juga merasa tertantang melihat mereka yang bisa sangat nyaman dengan orang asing, walau dengan kemampuan berbahasa yang terbatas, tetapi mengapa saya tidak. Cowok korea disebelah saya selalu berusaha berbicara bahasa Inggris dengan sebuah kamus di tangan, dan ada beberapa orang berusaha berbicara bahasa Inggris dengan terbata – bata. Yang memang bahasanya sudah bahasa inggris pun tak menatap kami dengan pandangan aneh saat kami berbicara terbata-bata kepada mereka.Hal ini jadi meningkatkan kepedean saya untuk berkomunikasi (jadi teringat teman yang suka mentertawakan & menceramahi, hanya karena saya salah mengucapkan 1 kata bahasa Inggris).

Saya merasa kami semua memiliki kesamaan yaitu sama-sama jadi orang asing, jadi kesamaan ini membantu saya menyingkirkan fikiran menjadi orang yang terasing. Untuk mengatasi shock budaya, saya hanya menanamkan fikiran mereka semua satu ruangan adalah teman-teman yang perlu saya jaga kehormatannya, tak peduli saya kenal mereka atau sebaliknya. Dan entah mengapa saat saya berhasil menanamkan fikiran itu, perasaan ketidaknyamanan itu berangsur hilang sendiri. 

Selama di hostel saya juga mencoba mengamati perilaku orang-orang dalam hostel ini. Sikap “Individualisme” orang barat (yang kata pelajaran di sekolah buruk) tak selamanya buruk. Individualisme mereka hanya sebatas mereka tidak mau mencampuri sesuatu yang bukan urusannya (seperti menilai orang). Mungkin juga dengan harapan kita tidak mencampuri urusan mereka agar mereka bisa hidup nyaman sesuai dengan pilihannya. Karena inilah saya jadi merasa nyaman sharing bersama mereka.

Kamar kami mirip asrama
Tanpa aturan tertulis di hostel, mereka selalu bisa menjaga kenyamanan semua orang yang tinggal di ruangan itu. Contohnya setiap jam sebelas malam, otomatis lampu dalam ruangan kami mati, semua obrolan mendadak berubah menjadi berbisik dan mereka melakukannya tanpa ada satupun teriakan untuk tidak berisik. Jika sudah mati lampu, cara berjalan mereka pun berubah menjadi mengendap-endap agar tidak menghasilkan getaran yang mengganggu tidur kami. (ternyata mereka lebih berbudaya timur dari saya yang memang dari timur).

Walau tidak ada petugas toilet yang standby dan kamar mandi hanya dibersihkan pada satu waktu, Kamar mandi bersama kami masih jauh dari kesan jorok, jauh dari bau pesing, dan bahkan sebutir sampah pun tidak ada, (kok beda ya dengan di rum….. ah sudahlah). masing - masing penghuni hostel bertanggung jawab atas kebersihan tempat itu. Jika kenyamanan orang bisa dijaga sedemikian rupa maka saya juga merasa sangat percaya untuk urusan keamanan yang lain. Mungkin saya hanya beruntung mendapat hostel bagus, murah, strategis, dan teman-teman yang saling mendukung,

3 komentar:

  1. Saya kalo ke Singapura malah gak mau nginep di hotel.. lebih enak dan nyaman tinggal di hostel walaupun berbaur sama orang asing, padaha bahasa inggris saya buruk sekali. hahahaha

    BalasHapus
  2. cerita yang menarik pak. tetep posting ya. kunjungi saya juga. hihih

    BalasHapus
  3. Hostel di Singapura murah2 kok...
    kunjungi blog saya juga donk

    BalasHapus