Melanjutkan kisah being single, stigma negatif menjadi seorang single juga melekat saat saya melakukan
traveling. Memang tidak segencar stigma negative ke para jomblowati tapi cukup
unik diceritakan di sini.
my style |
Sebagian besar stigma negatif
berasal dari hotel tempat menginap. Tidak sedikit orang
yang tak sengaja bertemu dengan saya di hotel, curiga bahwa saya sedang
menyembunyikan “seseorang” di dalam kamar. Bahkan ada seorang teman kerja yang berusaha
mencheck kamar, memastikan memang saya sendirian. Selain temany yang selalu curiga, saya juga punya teman yang “baik hati”. Maksud “baik hati”, adalah dengan mengirimkan “wanita yang baru
saja dia pakai” ke kamar saya, karena kasihan melihat saya selalu jalan
sendirian (serius!).
Saya pernah menginap di sebuah
hotel kecil di suatu kota di Sumatera (petunjuknya mudah tertebak), di pagi
hari resepsionis membangunkan saya melalui telepon dan menawarkan menu sarapan.
Uniknya ternyata terselip kata “wanita” dalam daftar menu ini. Iseng bertanya
mengapa menawarkan wanita kepada saya, dan dijawab dengan santai (tanpa
permintaan maaf loh) : “karena saya menginap sendiri”. Entah mengapa, saat saya
menginap sendiri saya lebih aman tinggal di hotel esek-esek dengan tarif per-jam, di hotel ini justru tak ada
gangguan ditawari wanita, dan lebih murah jika kita check in diatas jam 10
malam.
Saya pernah menemukan hotel "esek-esek” yang bersih,cenderung mewah, murah, dan tersedia alat sholat di dalam kamar”
Selalu dengan peta & brosur |
Kadang saya tidak menyalahkan
mereka, karena seiring dengan bertambahnya usia, perut makin membuncit, rambut
makin membotak, kantung makin menebal dan tetap dengan status single, cukup
sebagai alasan orang-orang mencurigaiku sebagai sindikat “om-om senang”. Apa
itu? Sebutan untuk cowok matang yang kemana-mana suka menghabiskan uang untuk
bersenang senang dengan wanita (juga pria). Yak memang jahat banget tuduhannya.
Dalam sebuah perjalanan, begitu turun
dari bandara tak jarang saya mendapat promosi tempat “pemuas nafsu” (kembali
karena alasan saya punya style om senang). Kadang cuma basa-basi, kadang gencar
juga promosinya. Yang paling gila adalah saat saya naik taksi dari bandara kota
Padang, si supir Taksi tak henti-hentinya meyakinkan bahwa Hotel yang saya tuju
bukanlah hotel yang tepat untuk bisa “memasukkan wanita”, dia juga gencar menawarkan
paket hemat semalam untuk 2 orang. Untung saya masih kuat iman (tapi nama saya Imam #eh).
Untuk urusan yang normal saja
mereka mudah memberikan stigma om senang kepada saya, apalagi saat saya mencari
tempat pijat. Pijat adalah hobi baru saya (atau doyan), dan juga kebutuhan
akibat factor U. Walau suka pijat saya sering harus berfikir 2x sebelum mencoba
tempat pijat diluar tempat pijat langganan. Saya menyadari sangat susah mencari
tempat pijat yang “steril”. Dari pengalaman, memilih
pemijat pria pun tak luput dari penawaran esek-esek !.
Mengenai pijat ini, 2 minggu menginap di Bali, pengetahuanku tentang berbagai jenis “pijat
sensual” meningkat pesat, karena memang selalu ditawari (kembali
karena saya punya style om senang). Penawaran paling unik adalah paket pijat 12
jam! dengan tenaga pijat 2 orang (Busyet ini mau pijat atau mau menyiksa orang),
tapi kalo ditung-itung murah juga tarifnya, (mau dishare no telpnya?)
Pernah pijat ke tempat orang yang sudah tua dan malah mendapat teguran, “gak kasihan sama yang mijat pak?”. LOL
Walau sebenarnya merasa terganggu dengan
berbagai tawaran esek-esek ini,
tetapi unik mendengar seseorang yang mengeluhkan makin merajalelanya pelacuran,
seakan pelacuran adalah hal baru. Padahal bisnis pelacuran adalah industri
paling tua, di dunia. Saya tinggal & besar di dekat lokaslisasi Dolly
Surabaya, lokasi pelacuran yang konon terbesar se asia, jadi sudah tak terasa
asing lagi dengan hal esek-esek ini. Jujur,
saya tidak pernah mencoba layanan mereka (jadi saya masih perjaka loh- PROMOSI).
Gara-gara tinggal di dekat Dolly
ini, saya beberapa kali diminta menjadi “pemandu wisata”, untuk teman-teman
saya yang datang dari luar kota yang penasaran seperti apa bentuk tempat
pelacuran terbesar se asia. Saya bersedia menjadi pemandu wisata dengan catatan
hanya sekedar berjalan - jalan bukan sebagai tamu wisma-wisma itu. Sebenarnya
sangat mudah menemukan bisnis esek-esek di
Surabaya, jaringannya sudah tersebar dijalan-jalan. Saya bisa menyebutkan
lokasi jalannya karena memang ada di jalur ke tempat kuliah saya dulu.
Cukup mudah mendapatkan jasa dari
mereka, apalagi jika anda punya style om senang, tinggal nongkrong dan
seseorang akan menawarkannya pilihan jasa, Saking mudahnya menjumpai bisnis esek - esek ini saya jadi mengerti
mengapa orang punya alasan memberikan stigma yang buruk kepada semua pria yang traveling
dan menginap di hotel sendirian. *lalu cari istri*
Kalau wanita yg melakukan perjalanan sendirian, apa akan ditawari om om ya? qiqiqiiq. Salam kenal :).
BalasHapushmmmm... perlu dilakukan riset ;-p
HapusOalah mas Mami ternyata kisahnya seru juga, nggak nyangka juga sebenarnya XD
BalasHapus