Tampak depan prince of wales |
Awal tahun ini saya mendapat
pengalaman untuk menginap di hostel pertama kalinya. Alasannya karena hostel
menawarkan harga paling murah, plus hostel yang kami pilih berada di lokasi
yang sangat strategis. Saya menginap di hostel bernama Prince of wales. Sebuah
hostel yang terletak di Boat quay di tepi Sungai Singapura. Lantai pertama dari Hostel Prince of wales adalah
sebuah bar, sedangkan hostel terletak di lantai 2 dan 3. Boat quay memang
dikenal dengan kawasan bar (baca Boat quay - Clarke quay). Lantai 2 di
khususkan untuk kamar cewek, sedangkan lantai 3 dikhususkan untuk kamar campur cowok
dan cewek. Dalam satu ruangan ada sekitar 12 tempat tidur bersusun. Tiap lantai
dilengkapi toilet & kamar mandi bersama (tapi masih ada sekatnya kok). Ruangan
kami juga dilengkapi locker kecil untuk menyimpan barang berharga, dan satu
computer yang tersambung dengan jaringan internet.
Menu sarapan : kopi/teh, roti + buah |
Berbeda dengan hotel, di hostel
kita melayani diri sendiri. Pihak hostel hanya menyediakan seprei & selimut
bersih di tempat khusus. Jadi tiap ingin mengganti seprei, selimut, & handuk kita sendiri
yang melakukan plus meletakkan seprei, selimut, & handuk kotor pada tempat cucian saat kita check out. Walau kami juga mendapat sarapan gratis, tetapi kami sendiri
yang menyiapkannya. Hostel hanya menyediakan bahan sarapan, dan kita sendiri
yang harus membakar roti, menyeduh kopi/teh lalu mencuci sendiri semua
peralatan yang kami pakai.
Apakah aman? Ini singapura jadi segalanya
aman, hasil searching di internet semakin memantapkan bahwa cukup aman untuk
tinggal di hostel dan sharing dengan orang asing. Buktinya 5 hari 4 malam
menginap saya tak pernah kehilangan barang, walau saya tak menggunakan loker. Teman
di sebelah tempat tidur saya justru membawa tablet, ipod, BB bergelatakan
begitu saja di atas tempat tidurnya. Toh pintu akses menuju kamar kita
dilengkapi password dimana hanya yang tinggal di hostel yang bisa masuk ke
dalam ditambah hostel juga dilengkapi kamera cctv.
Tidur di hostel artinya harus
tinggal bersama dengan 24 orang asing baik cowok maupun cewek. Tempat tidur sebelah
saya dihuni oleh seorang cowok asal korea, tempat tidur di depan ada 2-3 cewek
asal swedia (ah lupa), sebelah kanan (sepertinya sepasang kekasih) asal
perancis, ada juga orang yang saya duga dari India, dan beberapa bule berbahasa
inggris tanpa aksen. Tinggal dengan orang dari berbagai negara, dengan berbagai
kebudayaan yang sangat asing, plus dengan bahasa Inggris saya yang pas-pasan awalnya
membuat saya tak nyaman. Perasaan tak nyaman juga disebabkan karena saya
mengalami shock budaya. Beberapa menit merebahkan diri tempat tidur, saya
disuguhi “pemandangan”, 2 cewek di depan kamar saya dengan entengnya mengangkat
roknya mengambil kunci locker yang dia sembunyikan di celana dalamnya. Cowok disebelah
juga dengan santainya mengganti celana tak peduli ada 2 cewek sedang mengobrol
di depannya. Ada lagi Cowok Amerika dengan santainya berjalan-jalan dengan hanya
memakai celana dalam ke kamar mandi melintas di depan kami, dengan kondisi…. You
know lah apa yang terjadi saat cowok bangun tidur. Walau kamar mandi sudah
bersekat tinggi, tetapi rasanya cukup aneh saat kita mandi sementara di sebelah
kita ada 2 cewek yang juga mandi sambil mengobrol.
Bar sekaligus tempat kami sarapan |
Selepas malam pertama sempat
berfikir untuk pindah ke hotel yang lebih punya privacy. Tetapi niat saya tertahan karena teringat satu hal yang
diyakini back packer “untuk tidak pernah merasa asing di tempat asing”. Saya
juga merasa tertantang melihat mereka yang bisa sangat nyaman dengan orang
asing, walau dengan kemampuan berbahasa yang terbatas, tetapi mengapa saya
tidak. Cowok korea disebelah saya selalu berusaha berbicara bahasa Inggris dengan
sebuah kamus di tangan, dan ada beberapa orang berusaha berbicara bahasa
Inggris dengan terbata – bata. Yang memang bahasanya sudah bahasa inggris pun tak menatap
kami dengan pandangan aneh saat kami berbicara terbata-bata kepada mereka.Hal ini jadi meningkatkan kepedean saya untuk berkomunikasi (jadi teringat teman
yang suka mentertawakan & menceramahi, hanya karena saya salah mengucapkan
1 kata bahasa Inggris).
Saya merasa kami semua memiliki
kesamaan yaitu sama-sama jadi orang asing, jadi kesamaan ini membantu saya
menyingkirkan fikiran menjadi orang yang terasing. Untuk mengatasi shock
budaya, saya hanya menanamkan fikiran mereka semua satu ruangan adalah
teman-teman yang perlu saya jaga kehormatannya, tak peduli saya kenal mereka
atau sebaliknya. Dan entah mengapa saat saya berhasil menanamkan fikiran itu, perasaan
ketidaknyamanan itu berangsur hilang sendiri.
Selama di hostel saya juga
mencoba mengamati perilaku orang-orang dalam hostel ini. Sikap “Individualisme”
orang barat (yang kata pelajaran di sekolah buruk) tak selamanya buruk. Individualisme
mereka hanya sebatas mereka tidak mau mencampuri sesuatu yang bukan urusannya (seperti
menilai orang). Mungkin juga dengan harapan kita tidak mencampuri urusan mereka
agar mereka bisa hidup nyaman sesuai dengan pilihannya. Karena inilah saya jadi
merasa nyaman sharing bersama mereka.
Kamar kami mirip asrama |
Tanpa aturan tertulis di hostel,
mereka selalu bisa menjaga kenyamanan semua orang yang tinggal di ruangan itu.
Contohnya setiap jam sebelas malam, otomatis lampu dalam ruangan kami mati,
semua obrolan mendadak berubah menjadi berbisik dan mereka melakukannya tanpa
ada satupun teriakan untuk tidak berisik. Jika sudah mati lampu, cara berjalan
mereka pun berubah menjadi mengendap-endap agar tidak menghasilkan getaran yang
mengganggu tidur kami. (ternyata mereka lebih berbudaya timur dari saya yang
memang dari timur).
Walau tidak ada petugas toilet
yang standby dan kamar mandi hanya dibersihkan pada satu waktu, Kamar mandi bersama
kami masih jauh dari kesan jorok, jauh dari bau pesing, dan bahkan sebutir sampah
pun tidak ada, (kok beda ya dengan di rum….. ah sudahlah). masing - masing penghuni hostel bertanggung jawab atas kebersihan tempat itu. Jika kenyamanan orang
bisa dijaga sedemikian rupa maka saya juga merasa sangat percaya untuk urusan
keamanan yang lain. Mungkin saya hanya beruntung mendapat hostel bagus, murah, strategis, dan teman-teman yang saling mendukung,