Tampak depan Masjid Raya Sabilal Muhtadin |
Dari sedikit kota di Indonesia
tempat saya pernah melalui Ramadaan, saya memilih Banjarmasin sebagai yang
terbaik. Saya menjalani 2x Ramadan di kota ini, yaitu tahun 2004 & 2005. Sebagai
kota yang penduduknya lebih dari 90% adalah muslim (CMIIW), Atmosfir Ramadan di
sini lebih terasa dibanding kota lain di Indonesia. Minimal tidak seperti di mall
di kota Surabaya/ Jakarta/ Bandar Lampung yang dengan mudah kita mendapati
orang yang tidak berpuasa (#eh tapi tahun 2004 - 2005 Banjarmasin belum punya mall?). Sebenarnya
secara prinsip tak ada yang berbeda Ramadan di Banjarmasin dengan Ramadhan di
kota lain di Indonesia. Suasana berbuka puasa, sahur, tarawih, tadarus, petasan
hingga ‘ritual’ ngabuburit (lupa istilahnya dalam Bahasa Banjar, kerena burit
dalam bahasa banjar = pantat) masih sama dengan kota lain. Lalu apa yang membuatnya
istimewa ? Makanannya! (jiaaah….).
Salah satu sudut hijau masjid |
Wilayah Masjid Raya Sabilal
muhtadin adalah wilayah favorit saya dalam melakukan ritual ngabuburit, Nama Masjid
Sabilal Muhtadin sendiri diambil sebagai penghargaan terhadap ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary
(1710-1812) yang selama hidupnya memperdalam dan mengembangkan Islam di
Kerajaan Banjar. Masjid terbesar di kota Banjarmasin ini berada di lahan
seluas 100.000 Hektar. Areal masjid dikelilingi pepohonan membentuk hutan kecil. Masjid ini berada di dekat bantaran
Sungai Martapura, sungai terbesar di Kota banjaramsin. Lokasi ini dipilih
mengingat jalur transportasi sungai masih banyak diandalkan oleh warga
pedalaman. Pada beberapa pengajian akbar saya melihat rombongan jamaah yang
datang dengan menggunakan perahu tradisional.
Masjid raya dari sisi Sungai |
Ritual ngabuburit biasanya saya
lakukan dengan duduk di bawah pohon, atau di dekat air mancur atau berjalan di
bantaran sungai sambil mengamati orang yang sedang mandi di sungai
menikmati sunset dengan latar sungai martapura (#eh lupa arah). Kadang saya
menghabiskan waktu menelpon (mantan) gebetan, (yang sekarang sudah jadi istri
orang). Ritual berakhir dengan merenungi betapa mahalnya pulsa yang saya
habiskan..hehehehe (lah kok malah curcol). Untungnya saya tak perlu
mengeluarkan uang untuk berbuka puasa.
Masjid raya Sabilal Muhtadin
(juga sebagian besar masjid, di sana) selalu menghidangkan takjil dan juga buka
puasa gratis. Menu buka puasa yang disediakan biasanya berupa bubur dengan kuah
(seperti) soto banjar (Saya menyebutnya sebagai bubur banjar, entah apa
namanya). Tak usah malu dianggap mencari gratisan. karena menurut pengamatan berbuka
bersama di masjid semacam menjadi budaya setempat. Saya sering melihat
rombongan keluarga berbuka puasa bersama di masjid walaupun dengan jelas mereka
dari kalangan berada. Bahkan Presiden SBY pun pernah melakukan hal yang sama
saat berkunjung di kota ini, menunya bukan bubur lagi, tapi itik banjar yang
terkenal itu.
Bingka (sumber : georgetterox.wordpress.com) |
Di belakang Masjid Raya Sabilal
Muhatdin di bantaran Sungai Martapura biasanya diadakan semacam bazar kuliner. Mereka
menyebutnya sebagai pasar wadai (wadai = kue/kudapan). Yang unik sebagian besar
kuliner disini tak akan anda jumpai di kota lain di Indonesia. Yang menjadi
favorit saya diantara banyak kuliner itu adalah Bingka. Bingka itu adalah
semacam pai labu, dengan menggunakan telur itik. (beberapa varian menggunakai
tape, ketan, dll). Kue ini tak hanya susah didapat di kota lain di Indonesia,
juga bakal susah didapat di Banjarmasin di luar bulan Ramadan. Saya pernah mencoba
membuat bingka sendiri. hasilnya gosong diatas, mentah di tengah (hihihi chef
gadungan). Makanan favorit saya yang lain adalah aneka ayam & ikan
panggangnya yang disajikan dengan bumbu merah yang khas dan tentu saja ketupat
& nasi kuning banjar.
Selepas berbuka puasa biasanya
saya lanjutkan dengan tarawih 20 rakaat. Bagian favorit saya dalam Sholat Tarawih
disini adalah Khotbahnya, terlebih jika itu disampaikan oleh Imam besar masjid
saat itu (maaf saya lupa namanya). Saya suka cara Imam besar masjid menyampaikan
ceramah agamanya yang ditelinga seakan mendengar beliau mendongeng ke anak
cucunya. Walau beberapa bagian saya tidak mengerti (karena sebagian besar
disampaikan dalam Bahasa banjar) saya tetap menikmatinya dan ikut tergelak tanpa
tahu lucunya dimana
Satu harapan saya adalah
merasakan lagi Ramadan di kota ini bersama keluarga saya nanti….. hmmmmm (anyone?)
Salah satu aktivitas Sungai Martapura |